Sejak
saya di Bandung, saya makin mengenal dunia. Agak berlebihan memang. Tapi inilah
yang saya rasakan. Saya adalah orang yang sejak lahir sampai lulus kuliah dan
mendapatkan gelar sarjana tidak pernah sekalipun jauh dari orang tua. Dulu
ketika kost di Palembang, karna harus praktik di Rumah Sakit Umum, rekor saya
paling lama untuk tidak pulang ke rumah adalah 2 minggu. Rutinnya saya akan
setiap minggu pulang ke rumah. Sampai ketika saya dinyatakan diterima untuk
kembali merasakan menjadi mahasiswa lagi di Bandung ini.
Di
sini, saya tidak lagi tergantung dengan orang tua dalam hal finansial.
Alhamdulillah beasiswa dari negara yang saya terima sangat cukup untuk memenuhi
kebutuhan saya di sini. Walaupun kadang-kadang tetap saja saya meminta suntikan
dana dari orang tua ketika uang beasiswa yang harusnya saya dapatkan tiap
bulan, terlambat cairnya, bahkan dirapel sampai 4 bulan.
Memang
beda rasanya ketika mempunyai uang sendiri, tidak meminta kepada orang tua.
Saya menjadi bisa lebih bertanggung jawab terhadap keuangan saya sendiri. Saya bisa
merencanakan akan dipakai untuk apa dan harus menyimpan berapa banyak untuk
tabungan yang dipakai saat penelitian tesis nanti. Termasuk rencana untuk
travelling, semuanya bisa saya handle sendiri.
Punya
sedikit uang lebih, mulai enjoy dengan hidup saya yang mandiri, jauh dari orang
tua, membuat saya merasa lebih hidup. Saya bisa merencanakan apa saja yang saya
mau, kemana saja saya mau pergi, tentunya
dengan terlebih dahulu memperhitungkan estimasi waktu dan biayanya. Travelling
adalah pilihan saya. Mungkin sebagian dari teman saya yang lain menikmati uang
lebihnya itu untuk membeli pakaian di mall, atau membeli gadget keluaran
terbaru. Tapi tidak dengan saya. Saya sangat enjoy dengan hanya berbelanja baju
di pasar dadakan di Gazibu sekitar Gedung Sate, mengasyikkan, dan harga yang
ditawarkan sangat ramah dengan kantong saya. Gadget yang saya punya sekarang
hanya sebuah laptop kecil Acer, handphone nokia yang layarnya hitam putih, dan
sebuah handphone android samsung yang klasifikasinya berada paling bawah dari
semua jenis android. Cukuplah itu semua bagi saya. Asal saya bisa belajar,
mengerjakan tugas, searching di internet, bisa nelpon, bisa sms, atau buka FB
& Twitter, maka cukuplah itu bagi saya. I havo no need more.
Pertama
kali saya travelling adalah ketika saya memutuskan untuk ikut trekking naik
gunung Papandayan atas ajakan dari sahabat saya, Yosi, yang nantinya kami
berdua akan bergabung dalam 1 tim rombongan dari Jakarta yang mengadakan open
trip ini. Ini memang bukan kegiatan travelling saya yang pertama. Dulu waktu
saya kuliah di Palembang, saya pernah ikut tour yang diadakan oleh kampus saya
ke Jakarta, Bandung, dan Jogja. Saya juga sebelumnya pernah travelling bersama teman-teman
saya ke Pagaralam, dataran tertinggi di Sumatera Selatan, berhawa sejuk dengan
landscape bukit barisan, berkunjung ke rumah salah satu dari kami. Pun ketika
saya dapat kesempatan tawaran dari teman saya untuk berkunjung ke rumahnya di
Lampung, maka saya dengan teman-teman saya yang lainnya tidak menyia-nyiakan
kesempatan itu dan langsung menerima tawaran tersebut. Travelling ke Belitong,
atau lebih tepatnya saya sebut sebagai “mudik” juga sangat rutin saya lakukan
bersama keluarga saya. Perjalanan Bandung-Palembang juga sangat rutin saya
lakukan selama saya kuliah di sini. Jadi sebenarnya saya sangat terbiasa
melakukan perjalanan.
Tapi
kali ini berbeda, saya akan naik gunung. Hal yang belum pernah saya lakukan
sebelumnya. Exciting sekali. Saya sampai tidak bisa tidur pada malam hari
sebelum keberangkatan saya bersama Yosi sore hari berikutnya. Yosi yang
sebelumnya pernah satu kali trekking, menjadi pembimbing saya dalam melakukan
persiapan-persiapan sebelum hari H, mulai dari sewa carrier, sleeping bag,
nesting dan berbagai alat pendakian lainnya yang sangat asing bagi saya, sampai
pada jenis baju, sepatu, dan bahan makanan yang harus saya bawa. Benar-menar
membuat saya exciting sekaligus deg-degan.
Untungnya
saya memiliki orang tua yang memberikan kelonggaran untuk saya bisa pergi ke
tempat-tempat yang saya inginkan, walaupun harus mendengarkan ibu saya yang
menasehati sampai 1 jam lamanya di telpon, toh...mereka tetap membiarkan saya
melihat dunia, dan tetap memberikan doa terbaik mereka untuk saya.
Ah...memang
perjalanan menuju puncak Papandayan ini sangat berkesan bagi saya. Bertemu dengan orang-orang baru,
melakukan hal yang di luar kebiasaan, merasakan matahari yang sangat ditunggu untuk mengusir dingin di ketinggian. Mungkin itulah yang saya anggap sebagai
titik balik saya dan secara tidak langsung membuka mata saya untuk lebih
mengenal dunia.
Dari
situlah kemudian keinginan saya untuk melakukan travelling bertambah besar, lagi
dan lagi. Saya mulai dengan meng-explore kota Bandung ini dengan melakukan
perjalanan sendiri, tanpa rencana, dan hanya mengikuti arah angkot yang entah
akan membawa saya kemana, yang hampir bisa dipastikan saya akan tersesat
kemudian. Atau berjalan kaki menyusuri tempat-tempat bersejarah bersama
komunitas Aleut, komunitas yang saya ikuti 1 tahun belakangan ini. I really
enjoy it.
Sampai
pada bulan Desember tahun lalu, ketika saya membaca ada sebuah ajakan ‘open
trip; share cost’ di internet untuk pergi merasakan dekapan Bromo yang
dijadwalkan pada pertengahan Januari. Tentu kesempatan ini tidak saya lewatkan
begitu saja. Saya memutuskan untuk ikut serta, dan beberapa teman kampus saya
juga tertarik untuk bergabung. Jadilah kami dengan menggunakan kereta api,
meluncur ke Malang, padahal tidak satupun dari kami pernah menginjakkan kaki di
sana.
Explore
Malang, Batu, Coban Rondo, dan Bromo memberikan pengalaman baru bagi saya. Saya
pun akhirnya memutuskan untuk memperpanjang travelling saya dengan tidak
langsung pulang ke Bandung, akan tetapi melakukan solo travelling ke tempat
yang sudah lama saya rindukan, Jogja. Jangan tanya seberapa senang saya di
sana. Layaknya seorang kekasih yang merindu pasangannya, kemudian bertemu
kembali, begitulah perasaan saya, Jogja bagi saya memang memiliki ruang lain di
hati. Tiga hari di sana saya anggap sebagai hari terindah di antara hari-hari
lain di bulan itu. Bahkan sampai saat saya menuliskan catatan ini, saya masih
sangat merindukan Jogja. Jogja memang candu.
Dua
bulan kemudian, tepatnya 25 Maret 2014, saya kembali melakukan perjalanan
seorang diri. Kali ini saya melakukan perjalanan berhubungan dengan penelitian
tesis yang akan saya lakukan, studi pendahuluan lebih tepatnya, ke Kota
Surabaya. Saya sama sekali tidak mempunyai gambaran tentang Kota itu. Yang saya
tau dari beberapa orang teman saya menyatakan bahwa Surabaya itu panas, hanya
gambaran itulah yang saya dapatkan. Pun sama halnya saya tidak mempunyai
gambaran apapun tentang teman yang
rumahnya akan saya jadikan tempat tumpangan saya selama di sana. Berbekal nomor
handphone dan sedikit kata-kata pengantar yang diberikan teman saya Weni, saya
dengan keberanian penuh akhirnya menghubungi nomor tersebut yang adalah teman
dari Weni dan tinggal di Surabaya. Di rumahnyalah saya akan menginap.
Begitu
juga ketika akhirnya saya seminggu sebelum keberangkatan ke Surabaya memutuskan
untuk meneruskan perjalanan saya ke Bali setelah saya menyelesaikan urusan saya
di Surabaya. Tanpa rencana apa-apa, hanya terdorong keinginan untuk mengunjungi
teman kost saya yang tinggal di sana.
Begitulah
hidup. Saya bahkan sama sekali tidak pernah berencana untuk bisa mengunjungi
tempat-tempat tersebut, dan menjadikannya sebagai resolusi awal tahun yang
saya tempel di dinding kamar saya. Rencana Allah memang lebih indah dari apa
yang kita rencanakan.
Jika
ada orang yang bertanya,
“Apa yang kamu cari dari perjalanan ke
tempat-tempat yang telah kamu kunjungi selama ini?”
Saya
akan menjawab,
“Saya
tidak tau, karena ketidaktahuan saya itulah saya melakukan perjalanan”.
Just
go out, travelling and enjoy every single thing in this life.
“Twenty
years from now you will be more dissapointed by the things that you didn’t do than
by the ones you did do. So throw off the bowlines, sail away from the safe
harbor, catch the traid winds in your sails. Explore. Dream. Discover”. –Mark Twain--