Jumat, 18 April 2014

What a Wonderful World



Di satu pagi bulan April nan menyejukkan di Bandung,

I see trees of green,
red roses too.
I see them bloom,
for me and you.
And I think to myself,
what a wonderful world.

Menghirup udara pagi yang sangat menyejukkan, walaupun tak ada pohon hijau ataupun mawar merah yang sedang merekah yang bisa ku lihat di balik jendela kamarku, namun tetap saja menyejukkan, mendorong aku untuk meghirup udara sebanyak-banyaknya memenuhi paru-paruku yang belum tentu bisa aku nikmati lagi besok atau lusa.
Betapa indahnya dunia.

I see skies of blue,
And clouds of white.
The bright blessed day,
The dark sacred night.
And I think to myself,
What a wonderful world.

Matahari hangat mulai menyapa, ronanya perlahan-lahan mulai merayap memasuki jendela kamarku. Langit cerah yang tak terbatas itu seakan berujar, “Sambutlah harimu wahai anak muda, hari ini adalah harimu, maka penuhilah dengan kebahagiaan”.
Betapa indahnya dunia.

I hear babies cry,
I watch them grow,
They'll learn much more,
Than I'll ever know.
And I think to myself,
What a wonderful world.

Sesungguhnya hidup adalah ladang untuk belajar, tentang apa pun, dan tak akan ada habis-habisnya untuk dipelajari. Apa yang telah aku petik selama umurku yang seperempat abad ini, hanyalah sebagian kecil  pengalaman, karena masih banyak yang belum aku rasakan...
...betapa indahnya dunia.

Selasa, 15 April 2014

Let's Talk about Travelling



Sejak saya di Bandung, saya makin mengenal dunia. Agak berlebihan memang. Tapi inilah yang saya rasakan. Saya adalah orang yang sejak lahir sampai lulus kuliah dan mendapatkan gelar sarjana tidak pernah sekalipun jauh dari orang tua. Dulu ketika kost di Palembang, karna harus praktik di Rumah Sakit Umum, rekor saya paling lama untuk tidak pulang ke rumah adalah 2 minggu. Rutinnya saya akan setiap minggu pulang ke rumah. Sampai ketika saya dinyatakan diterima untuk kembali merasakan menjadi mahasiswa lagi di Bandung ini.

Di sini, saya tidak lagi tergantung dengan orang tua dalam hal finansial. Alhamdulillah beasiswa dari negara yang saya terima sangat cukup untuk memenuhi kebutuhan saya di sini. Walaupun kadang-kadang tetap saja saya meminta suntikan dana dari orang tua ketika uang beasiswa yang harusnya saya dapatkan tiap bulan, terlambat cairnya, bahkan dirapel sampai 4 bulan.

Memang beda rasanya ketika mempunyai uang sendiri, tidak meminta kepada orang tua. Saya menjadi bisa lebih bertanggung jawab terhadap keuangan saya sendiri. Saya bisa merencanakan akan dipakai untuk apa dan harus menyimpan berapa banyak untuk tabungan yang dipakai saat penelitian tesis nanti. Termasuk rencana untuk travelling, semuanya bisa saya handle sendiri.

Punya sedikit uang lebih, mulai enjoy dengan hidup saya yang mandiri, jauh dari orang tua, membuat saya merasa lebih hidup. Saya bisa merencanakan apa saja yang saya mau, kemana saja saya mau pergi,  tentunya dengan terlebih dahulu memperhitungkan estimasi waktu dan biayanya. Travelling adalah pilihan saya. Mungkin sebagian dari teman saya yang lain menikmati uang lebihnya itu untuk membeli pakaian di mall, atau membeli gadget keluaran terbaru. Tapi tidak dengan saya. Saya sangat enjoy dengan hanya berbelanja baju di pasar dadakan di Gazibu sekitar Gedung Sate, mengasyikkan, dan harga yang ditawarkan sangat ramah dengan kantong saya. Gadget yang saya punya sekarang hanya sebuah laptop kecil Acer, handphone nokia yang layarnya hitam putih, dan sebuah handphone android samsung yang klasifikasinya berada paling bawah dari semua jenis android. Cukuplah itu semua bagi saya. Asal saya bisa belajar, mengerjakan tugas, searching di internet, bisa nelpon, bisa sms, atau buka FB & Twitter, maka cukuplah itu bagi saya. I havo no need more.

Pertama kali saya travelling adalah ketika saya memutuskan untuk ikut trekking naik gunung Papandayan atas ajakan dari sahabat saya, Yosi, yang nantinya kami berdua akan bergabung dalam 1 tim rombongan dari Jakarta yang mengadakan open trip ini. Ini memang bukan kegiatan travelling saya yang pertama. Dulu waktu saya kuliah di Palembang, saya pernah ikut tour yang diadakan oleh kampus saya ke Jakarta, Bandung, dan Jogja. Saya juga sebelumnya pernah travelling bersama teman-teman saya ke Pagaralam, dataran tertinggi di Sumatera Selatan, berhawa sejuk dengan landscape bukit barisan, berkunjung ke rumah salah satu dari kami. Pun ketika saya dapat kesempatan tawaran dari teman saya untuk berkunjung ke rumahnya di Lampung, maka saya dengan teman-teman saya yang lainnya tidak menyia-nyiakan kesempatan itu dan langsung menerima tawaran tersebut. Travelling ke Belitong, atau lebih tepatnya saya sebut sebagai “mudik” juga sangat rutin saya lakukan bersama keluarga saya. Perjalanan Bandung-Palembang juga sangat rutin saya lakukan selama saya kuliah di sini. Jadi sebenarnya saya sangat terbiasa melakukan perjalanan.

Tapi kali ini berbeda, saya akan naik gunung. Hal yang belum pernah saya lakukan sebelumnya. Exciting sekali. Saya sampai tidak bisa tidur pada malam hari sebelum keberangkatan saya bersama Yosi sore hari berikutnya. Yosi yang sebelumnya pernah satu kali trekking, menjadi pembimbing saya dalam melakukan persiapan-persiapan sebelum hari H, mulai dari sewa carrier, sleeping bag, nesting dan berbagai alat pendakian lainnya yang sangat asing bagi saya, sampai pada jenis baju, sepatu, dan bahan makanan yang harus saya bawa. Benar-menar membuat saya exciting sekaligus deg-degan. 

Untungnya saya memiliki orang tua yang memberikan kelonggaran untuk saya bisa pergi ke tempat-tempat yang saya inginkan, walaupun harus mendengarkan ibu saya yang menasehati sampai 1 jam lamanya di telpon, toh...mereka tetap membiarkan saya melihat dunia, dan tetap memberikan doa terbaik mereka untuk saya.

Ah...memang perjalanan menuju puncak Papandayan ini sangat berkesan bagi saya. Bertemu dengan orang-orang baru, melakukan hal yang di luar kebiasaan, merasakan matahari yang sangat ditunggu untuk mengusir dingin di ketinggian. Mungkin itulah yang saya anggap sebagai titik balik saya dan secara tidak langsung membuka mata saya untuk lebih mengenal dunia.

Dari situlah kemudian keinginan saya untuk melakukan travelling bertambah besar, lagi dan lagi. Saya mulai dengan meng-explore kota Bandung ini dengan melakukan perjalanan sendiri, tanpa rencana, dan hanya mengikuti arah angkot yang entah akan membawa saya kemana, yang hampir bisa dipastikan saya akan tersesat kemudian. Atau berjalan kaki menyusuri tempat-tempat bersejarah bersama komunitas Aleut, komunitas yang saya ikuti 1 tahun belakangan ini. I really enjoy it.

Sampai pada bulan Desember tahun lalu, ketika saya membaca ada sebuah ajakan ‘open trip; share cost’ di internet untuk pergi merasakan dekapan Bromo yang dijadwalkan pada pertengahan Januari. Tentu kesempatan ini tidak saya lewatkan begitu saja. Saya memutuskan untuk ikut serta, dan beberapa teman kampus saya juga tertarik untuk bergabung. Jadilah kami dengan menggunakan kereta api, meluncur ke Malang, padahal tidak satupun dari kami pernah menginjakkan kaki di sana.

Explore Malang, Batu, Coban Rondo, dan Bromo memberikan pengalaman baru bagi saya. Saya pun akhirnya memutuskan untuk memperpanjang travelling saya dengan tidak langsung pulang ke Bandung, akan tetapi melakukan solo travelling ke tempat yang sudah lama saya rindukan, Jogja. Jangan tanya seberapa senang saya di sana. Layaknya seorang kekasih yang merindu pasangannya, kemudian bertemu kembali, begitulah perasaan saya, Jogja bagi saya memang memiliki ruang lain di hati. Tiga hari di sana saya anggap sebagai hari terindah di antara hari-hari lain di bulan itu. Bahkan sampai saat saya menuliskan catatan ini, saya masih sangat merindukan Jogja. Jogja memang candu.

Dua bulan kemudian, tepatnya 25 Maret 2014, saya kembali melakukan perjalanan seorang diri. Kali ini saya melakukan perjalanan berhubungan dengan penelitian tesis yang akan saya lakukan, studi pendahuluan lebih tepatnya, ke Kota Surabaya. Saya sama sekali tidak mempunyai gambaran tentang Kota itu. Yang saya tau dari beberapa orang teman saya menyatakan bahwa Surabaya itu panas, hanya gambaran itulah yang saya dapatkan. Pun sama halnya saya tidak mempunyai gambaran apapun  tentang teman yang rumahnya akan saya jadikan tempat tumpangan saya selama di sana. Berbekal nomor handphone dan sedikit kata-kata pengantar yang diberikan teman saya Weni, saya dengan keberanian penuh akhirnya menghubungi nomor tersebut yang adalah teman dari Weni dan tinggal di Surabaya. Di rumahnyalah saya akan menginap. 

Begitu juga ketika akhirnya saya seminggu sebelum keberangkatan ke Surabaya memutuskan untuk meneruskan perjalanan saya ke Bali setelah saya menyelesaikan urusan saya di Surabaya. Tanpa rencana apa-apa, hanya terdorong keinginan untuk mengunjungi teman kost saya yang tinggal di sana. 

Begitulah hidup. Saya bahkan sama sekali tidak pernah berencana untuk bisa mengunjungi tempat-tempat tersebut, dan menjadikannya sebagai resolusi awal tahun yang saya tempel di dinding kamar saya. Rencana Allah memang lebih indah dari apa yang kita rencanakan.

Jika ada orang yang bertanya,
 “Apa yang kamu cari dari perjalanan ke tempat-tempat yang telah kamu kunjungi selama ini?”
Saya akan menjawab,
“Saya tidak tau, karena ketidaktahuan saya itulah saya melakukan perjalanan”.

Just go out, travelling and enjoy every single thing in this life.

“Twenty years from now you will be more dissapointed by the things that you didn’t do than by the ones you did do. So throw off the bowlines, sail away from the safe harbor, catch the traid winds in your sails. Explore. Dream. Discover”. –Mark Twain--

Banyak jalan menuju Roma



Satu hal yang bisa saya simpulkan dari hasil saya membaca beberapa blog dari anak-anak muda Indonesia yang berhasil menginjakkan kaki di Eropa, bahwa cita-cita untuk sekedar sampai ke benua  itu sangat possible untuk dicapai.
 
Dari yang saya baca, terdapat beberapa cara untuk bisa ke sana, tentu khususnya bagi orang seperti saya (mempunyai dana yang terbatas, mementingkan irit di atas keyamanan, dan berusaha mandiri, tidak mengandalkan uang dari orang tua). Bagaimana caranya?

Pertama, mencari beasiswa untuk bisa kuliah di sana. Sebagaimana yang saya baca, mahasiswa Indonesia yang datang ke Eropa yang memperoleh beasiswa itu kebanyakan untuk studi Master (S2) atau Doktoral (S3). Ada banyak sekali program beasiswa yang bisa diikuti oleh mahasiswa Indonesia yang mau melanjutkan studi di sana, tentunya harus memenuhi standar dan persyaratan dari Universitas tersebut. Kegigihan dan semangat adalah hal mutlak yang harus dimiliki oleh seorang scholarship hunter, karena sangat jarang bisa diterima hanya dengan satu kali apply. Kebanyakan dari mereka harus mengirim berkali-kali application ke berbagai Universitas yang tersebar di Eropa, untuk kemudian bisa diterima sebagai mahasiswa di salah satu Universitas di sana.

Namun jika dirasa untuk mendapatkan beasiswa sangat sulit, karena mempunyai berbagai kendala, maka cara kedua patut untuk dipertimbangkan. Cara kedua yaitu dengan mengikuti program Au-pair. Dari yang saya baca, Au-pair artinya balas jasa atau memiliki hubungan timbal balik. Dimana di satu sisi, ada mahasiswa atau sarjana yang sangat ingin merasakan hidup di negara lain, ingin belajar budaya dan bergaul dengan orang-orang bangsa lain, ingin belajar suatu bahasa di negara aslinya, namun tidak memiliki dana yang cukup untuk pergi ke sana secara mandiri. Kemudian disisi lain terdapat satu keluarga pekerja yang memiliki anak kecil sangat membutuhkan pengasuh untuk mengurusi anaknya selagi mereka sibuk dengan pekerjaan, maka Au-pair lah yang menjembatani keduanya (mahasiswa dan keluarga tersebut). Jadi mahasiswa bisa tinggal di dalam keluarga tersebut, disediakan kamar sendiri, fasilitas yang memadai, makan gratis, belajar di lembaga kursus bahasa, dan diberikan uang saku. Sebagai balas jasanya, mahasiswa harus menjadi kakak asuh yang bertugas mengurusi anak kecil dalam keluarga tersebut maksimal 30 jam/minggu, tergantung kesepakatan antara mahasiswa dengan keluarga. Untuk lebih jelasnya, di google search, jika mengetikkan keyword: Aupair maka di sana akan bermunculan blog-blog dari mahasiswa yang telah menjalani program ini.

Singkatnya, banyak jalan menuju Roma. Saya jadi berfikir, seandainya saya adalah seorang sarjana freshgraduated, maka saya tidak akan buru-buru mencari pekerjaan ataupun menjadi PNS. Saya tidak akan menyia-nyiakan kesempatan untuk menempuh kedua cara di atas untuk bisa ke Eropa. Mungkin tidak semua orang setuju dengan saya. Tapi itulah saya. Saya ingin menatap dunia. Dunia yang jauh di luar sana. Yang tidak pernah saya kunjungi. Yang orang-orangnya tidak pernah saya temui. Yang bahasanya akan sangat asing di telinga.

Semoga tesis saya cepat selesai. Amin.

Belanda. Amin.



Eropa memang memiliki magnet yang begitu besar bagi saya. Jika ditanya mengapa, saya juga tidak tau persis jawabnya. Di antara banyak negara di sana, saya sangat tertarik untuk bisa ke Belanda. Maka mulailah saya membaca artikel tentang negara kincir angin tersebut yang tanpa saya sadari telah menjadi hobi saya hampir satu bulan ini, di sela-sela waktu luang saya.

Menyenangkan memang, saya menjadi tau perbedaan antara Holland, Netherland, dan Deutsch walaupun sebenarnya artinya merujuk pada satu negara yang sama yaitu Belanda, betapa hangatnya orang-orang di sana dibandingkan negara tetangganya Jerman, khususnya pada orang Indonesia, dan hal-hal lainnya. Saya juga menjadi tau bahwa jika kita berstatus sebagai mahasiswa yang belajar di Eropa, maka kita bisa dengan mudah untuk melakukan trip keliling eropa karena bebas visa, jalur-jalur angkutan umumnya pun terdengar sangat nyaman dan efisien mengantarkan kita berkeliling dari satu negara ke negara lain.

Maka saya, dengan rasa percaya diri yang membuncah, mulai berani membuka halaman-halaman web resmi beberapa universitas yang ada di Belanda. Sebuah pencapaian besar bagi saya. Karena selama ini sekalipun hanya membuka web dari internet di kamar kost saya, yang notabene tidak akan ada orang yang melihat, saya tidak mempunyai kepercayaan diri. That’s me.

Semoga mimpi saya untuk menjadi mahasiswa doktoral di sana bisa didengar oleh Allah. Amin.